Senin, 25 Agustus 2008

DARI SYARIAT TAURAT MENUJU INJIL




Yesus adalah orang Yahudi, tinggal di kawasan Yahudi, dan berada dilingkungan agama Yahudi. Apakah Yesus mengikuti syariat Taurat Yahudi ataukah Ia membawa misi transformasi menuju Injil yang memerdekakan?

Umat Perjanjian Baru pada saat Yesus hidup masih berada dilingkungan hukum Taurat dan adat-istiadat Yahudi, karena mereka umumnya tinggal di Yerusalem dan Yudea dimana kekuasaan para Rabi itu dominan, sekalipun orang-orang Israel kala itu berada dibawah pemerintahan Romawi.

Yesus sendiri semasa masih bayi dibawa ke bait Allah di Yerusalem, disunat pada hari kedelapan dan menjalani ritual pentahiran dan penyerahan anak sulung (Luk. 2:21-24), dan pada umur 12 tahun Ia kembali diajak oleh kedua orang tuanya untuk pergi ke Yerusalem merayakan hari raya Pesakh Yahudi sebagai peringatan keluarnya orang Israel dari perbudakan di Mesir (Luk. 2:41-42). Namun, apakah itu berarti bahwa setelah Yesus mulai mengajar, ajaran-Nya adalah ajaran Yahudi yang berpusat Taurat? Sekalipun berlatar belakang agama Yahudi, sejak awal Yesus sudah melakukan transformasi keyahudian.

Sejak Yesus mulai melayani, Ia sudah menunjukkan reformasinya terhadap ibadat Yahudi yang sudah membeku, agama Yahudi yang sudah kehilangan gigitannya dan menjadi ritual yang memberatkan umat. Ditengah konteks demikianlah Yesus hadir mengadakan reformasi. Yesus sejak awal menunjukkan suatu ritual baru yaitu Ia dibaptiskan oleh Yohanes (Luk. 3:21-22), suatu ritual baru yang tidak ada dalam ibadat Israel selain adat basuhan, namun kenyataannya pada peristiwa pembaptisan itu ritual itu direstui oleh Roh Kudus dan Allah Bapa.
“Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nya-lah Aku berkenan.” (Mat. 3:16-17).

Di sini kita melihat gambaran Trinitas yang jelas, dimana pribadi Yesus dibedakan dengan pribadi Yahweh, dan pribadi Roh Kudus juga dibedakan dari pribadi Yahweh. Ini menunjukkan perbedaan dengan konsep tauhid dalam kepercayaan Yahudi. Demikian juga konsep kehadiran Roh Kudus dalam diri Yesus (Luk. 4:1) membedakannya dari kehidupan berdasarkan syariat Taurat Tanakh Yahudi.

Di Nazaret ketika Yesus mulai melayani, Ia semula masih beribadah di hari Sabat (Luk. 4: 16,31), di sinilah Ia menyatakan diri sebagai Messias yang diurapi, suatu penggenapan nubuatan PL dengan cara membaca surat nabi Yesaya (Luk. 4:18-19). Ini mengindikasikan bahwa sejak awal pelayanannya di bumi ini, Yesus sudah membedakan diri dari ibadat Yahudi. Ia yang bukan ahli kitab dan keturunan imam, tetapi bisa mengajar di sinagoga-sinagoga seperti di Nazaret, dan kalau ibadat Yahudi berpusat di Bait Allah dan Sinagoga, Yesus mulai mengajar di banyak tempat, di tepi pantai, di pasar, di rumah jemaat, bahkan termasuk kotbah di Bukit (Mat. 5-7).

Injil, kabar baik dihadirkan bukan sebagai syariat yang memberatkan umat dengan segala ritualnya seperti yang terjadi dalam agama Yahudi yang secara ketat diawasi oleh para imam agama, tetapi Yesus mendatangkan tahun Sabat (Tahun Rakhmat Tuhan) sebagai anugerah kepada umat manusia, konsep pembebasan yang dalam Perjanjian Lama hanya dimengerti secara teoritis tetapi sekarang ditampilkan dalam kenyataan. Karena pelayanannya yang sejak awal sudah membedakan diri dengan agama Yahudi tradisional sejak pelayanan perdananya Yesus kemudian ditolak dan seisi rumah ibadat marah kepada-Nya bahkan Ia akan dilemparkan dari atas tebing (Luk.4:28-29). Selanjutnya Yesus mulai mengadakan banyak mujizat sebagai penggenapan Yes. 61:1-2 / Luk. 4:18-19, dimana Ia membebaskan banyak orang dari belenggu penyakit dan kerasukan setan.

Soal kebiasaan berpuasa, yaitu tidak makan pada hari-hari dan jam-jam tertentu, yang dalam adat istiadat Yahudi telah merosot dipraktekkan dengan tidak makan sambil menunjukkan muka muram, dalam kehidupan Yesus yang baru diberi pengertian yang baru, bahkan kemudian Yesus mengatakan kepada hadirin yang mendengar kotbahnya:
“Tidak seorang pun mengoyakkan secarik kain dari baju yang baru untuk menambalkannya pada yang tua … tidak seorang pun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang lama.” (Luk. 5:33-39).

Dengan demikian, Yesus telah memberikan gambaran ibadat yang baru yang digambarkan sebagai baju agama yang baru, menggantikan ibadat ritual yang lama yang telah koyak bagaikan koyaknya baju yang sudah tua. Pandangannya mengenai hari Sabat juga berubah, bahwa Sabat bukan lagi ritual yang memberatkan pada hari Sabtu, tetapi Sabat adalah suatu aksi yang membebaskan umat, karena Yesus sendirilah Tuhan atas hari Sabat.

Selanjutnya dengan mengumpulkan kedua-belas murid, Ia telah membuka era pelayanan baru yang selama ini berpusat pada pelayanan para Imam yang secara turun temurun melayani ritual di rumah ibadat (bersifat sentripetal/memusat), sekarang bersifat melayani keluar melalui para murid yang diutus (bersifat sentrifugal/ menyebar). Dalam Perjanjian Lama, keimaman dilayani oleh keturunan Lewi karena merekalah yang diberi wewenang secara keturunan sebagai pemelihara ritual agama, namun sekarang pelayanan dilakukan murid-murid yang dipilih bukan atas dasar keturunan keimaman melainkan karena panggilan, iman dan anugerah Allah. Rasul Petrus mengatakan:
“Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.” (1 Ptr. 2:9).
Yesus mengajarkan dasar iman yang benar, bukan karena kita menyebut nama ‘Tuhan’ maka kita selamat dan diperkenan melainkan bila kita melakukan kehendak-Nya (Mat. 7:24-27). Kehidupan Iman tidak lagi terkurung tembok-tembok rumah ibadat dan ritual sesuai tradisi nenek-moyang, melainkan dunia ini menjadi rumah ibadat bagi Yesus dan jemaat, dan Yesus mengutus murid ke dalam dunia (Yoh. 17:18). Umat tidak lagi menyembah di Yerusalem atau di bukit Gerizim, tetapi menyembah Bapa dengan roh dan kebenaran (Yoh. 4:21-24), Manusia menjadi Bait-El (1 Kor. 6:19).

Doa yang selama ini merupakan pengulangan ayat-ayat doa melalui pimpinan para Imam, berubah menjadi doa langsung kepada Tuhan sebagai ungkapan hati yang bertobat (Mat. 6:5-15). Doa menjadi percakapan dialogis dengan Tuhan yang hidup. Yesus bahkan membandingkan doa dan puasa seorang Farisi dan ahli Taurat yang bersifat ritual dengan doa orang berdosa yang dengan tulus diucapkan (Luk. 18:9-14). Menariknya, dalam kedua doa itu, justru doa orang miskin itulah yang lebih diperkenan Tuhan daripada doa ritual orang Farisi.

Konsep ibadat yang menekankan Iman dan Anugerah jelas dalam pengajaran Yesus, dan ini dikaitkan dengan konsep kelahiran baru dimana Roh Kudus dikaruniakan ke dalam diri manusia yang berbeda dengan keselamatan karena melakukan hukum Taurat :
“Jikalau seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat kerajaan Allah.” (Yoh. 3:3)
Demikian juga ada berita anugerah yang indah ditawarkan kepada manusia, bahwa:
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh. 3:16)

Konsep iman sudah berbeda dengan konsep iman akan hukum Taurat yang bertumpu pada perbuatan, iman perjanjian baru itu ibarat gandum yang bertumbuh di tanah yang baik (Mat. 13:1-43) yang menghasilkan buah karena pohonnya berakar di tanah yang baik dan mendapat siraman firman Tuhan yang menyegarkan dan menghidupkan.

Karena pengajaran Yesus yang makin melepaskan diri dari ritual hukum Taurat yang bersifat lahir itulah, Yesus dianggap berseberangan dengan orang Farisi khususnya dan hukum agama Yahudi umumnya, bahkan dalam hal Sabat berkali-kali Yesus disalahkan oleh orang Farisi. Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Mat. 23:1-36), apalagi ketika Ia menyatakan diri-Nya sebagai Allah, dan menyebut bahwa “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh. 10:20) dan mengaku bahwa “Aku Anak Allah” (Yoh.10:36), dan bahwa “Bapa didalam Aku dan Aku di dalam Bapa.” Ia kemudian diadili dan disalibkan.

Dalam hal hukum Taurat, Yesus berkata:
“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Mat. 5:17).
Lalu apakah yang dimaksudkan dengan ‘menggenapi’ seperti yang dikatakan Yesus itu? dari konteks perikop ayat di atas jelas bahwa kalau hukum Taurat biasa bersifat perbuatan lahir dan dimengerti secara harfiah, maka hukum kasih bersifat rohani dan tertulis dalam hati, seseorang bukan diukur dengan ritual yang kelihatan diluarnya tetapi lebih karena motivasi dalam hati.
Yesus sering dikritik karena tidak melakukan adat-istiadat nenek-moyang yahudi:
“mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek-moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan.” Tetapi jawab Yesus kepada mereka: “mengapa kamu pun melanggar perintah Allah demi adat-istiadat nenek-moyangmu?” (Mat. 15:2-3).
Bagi Yesus ‘menggenapi’ berarti membuka selubung Taurat yang selama ini membuat para pengikutnya tidak bisa melihat makna sebenarnya dari hukum itu. Jadi menggenapi bukan meniadakan tetapi mengembalikan kepada pengertian hakiki hukum yang sebenarnya.

Mengutip surat Yesaya, Yesus bersabda:
“Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” (Mrk. 7:6-8).
Disini Yesus ingin membawa umat manusia kepada pengertian hukum Taurat yang benar, yaitu hukum ‘Kasih.’

“… seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia: “Guru hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?”Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” (Mat. 22:35-40).

Berbeda dengan anggapan seakan-akan Yesus patuh pada hukum Taurat sesuai tradisi turun temurun dan penafsiran para Imam Yahudi, dan Pauluslah yang kemudian melepaskan kekristenan dari akarnya Yahudi, kita sudah melihat bahwa sejak awal pelayanannya, Yesus sudah dengan pelan tapi pasti melepaskan diri dari adat-istiadat Yahudi dan bayang-bayang hukum Taurat yang dipercayai secara harfiah dalam agama Yahudi, dan kemudian membawanya masuk ke dalam hukum kasih, yaitu kasih kepada Allah dan kasih kepada manusia.

Kita dapat melihat bahwa Yesus maupun para Rasul tidak lagi memegang hukum Taurat (seperti dimengerti agama Yahudi) tetapi Taurat Perjanjian Lama diperbarui menjadi Injil Perjanjian Baru yang mem­bawa ma­nusia kepada iman, kebenaran dan kasih, dan menyadarkan umat bah­wa keselamatan dan kebenaran bukanlah tergantung dari melakukan perbuatan hukum-hukum Taurat melainkan karena Iman dan Kasih Karunia dengan menjalankan hukum Kasih. Dengan demikian umat Kristen Perjanjian Baru telah dimerdeka­kan dan hidup dalam kabar kesukaan Injil, dengan Roh dalam hati yang diperbaharui dengan roh yang baru (Yer. 31:31-33/Yeh. 36:26-27).

Dalam persidangan di Yerusalem berkenaan dengan kontroversi sunat, para rasul memutuskan bahwa ritual sunat tidak lagi mengikat karena umat menerima keselamatan oleh kasih karunia dan bukan karena perbuatan sunat, dan ini bukan lagi menjadi hak orang Yahudi saja.
“Sebaliknya, kita percaya, bahwa oleh kasih karunia Tuhan Yesus Kristus kita akan beroleh keselamatan sama seperti mereka juga.” (Kis. 15:11).

Sunat sebenarnya ialah sunat rohani di dalam hati dan bukan sunat yang dilakukan secara lahir.
“Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah.” (Rm. 2:29).

Yesuslah yang pertama membawa pembaruan ibadat dari yang lama menjadi baru di kalangan orang Yahudi, dan barulah rasul Paulus dan rasul-rasul lainnya yang melanjutkannya di kalangan Yahudi perantauan dan orang asing sehingga mereka disebut sebagai Kristen (Kis. 11:26). Dalam Kisah Para Rasul pasal 22 dan seterusnya, Paulus membawa umat Yahudi keluar dari tradisi ’Taurat’ dan membawanya kepada ’iman dan anugerah Injil’.

Dalam surat Paulus kita melihat ajaran ’Injil’ yang lepas dari Taurat, karena kita hidup dari ’iman dan anugerah Allah’ dan bukan lagi karena ’perbuatan dan melakukan Taurat’ (Rm. 5–8; Gal. 3; Ef. 2; Flp. 3; Kol. 2).

Menghadapi mereka yang masih mengikuti Taurat (makanan halal-haram & merayakan hari-hari tertentu seperti Sabat), rasul Paulus mengingatkan mereka yang sudah tidak mengikutinya agar ‘tidak menghakimi mereka yang lemah’ yang masih menjalankan hal itu (Rm. 14), tetapi ia mengajak agar umat kristen meninggalkan sikap iman yang masih lemah termasuk merayakan Sabat karena kita sudah dimerdekakan oleh Roh Kristus (Gal. 4:1-11). Paulus berkata:
“Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; semuanya itu hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedangkan wujudnya ialah Kristus.” (Kol.2:16)

Rasul Paulus juga menekankan konsep Injil Anugerah yang berbeda dengan ajaran Taurat yang dipercayai tradisi:
“kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kritus. … karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita. … Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya! Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima perdamaian itu.” (Rm. 5:1-11)

Sebagian umat kristen ingin mengembalikan umat Kristen kembali kepada hukum Taurat dan adat-istiadat Yahudi, padahal Yesus, dan kemudian para rasulnya, sudah melepaskan kita dari kuk Taurat dan membawa kita ke bawah anugerah Allah. Rasul Paulus berkata kepada mereka yang masih terikat hukum Taurat, bahwa:
“Adakah kamu telah menerima Roh karena melakukan hukum taurat atau karena percaya kepada pemberitaan Injil? Adakah kamu sebodoh itu? Kamu telah mulai dengan Roh, maukah engkau sekarang mengakhirinya di dalam daging?” (Gal.3:3).

“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau supaya kita hidup di dalamnya.” (Ef. 2:8-10).
Perlu disadari bahwa sama halnya dengan Yesus yang ingin menggenapi Taurat, rasul Paulus juga tidak mengajarkan umat untuk merombak hukum Taurat melainkan meneguhkannya.
“Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya.” (Rm. 3:31).

Meneguhkan dalam pemikiran Paulus sama dengan menggenapi dalam pemikiran Yesus, soalnya memang sekalipun Paulus mengatakan tidak membatalkan Taurat, ia memberikan arti sebenarnya dibalik huruf-huruf Taurat itu yaitu pengejawantahannya yang bukan dengan “perbuatan” tetapi dengan “iman.”

Dalam konteks ayat Rm. 3:21-31, Paulus menyebut bahwa tanpa hukum Taurat (yang bersifat lahir) umat mengenal kebenaran Allah karena:
(ay.22) iman; (ay.24) pembenaran itu terjadi karena kasih karunia penebusan Kristus; (ay.25) karenanya manusia memperoleh jalan pendamaian karena darahnya; karena itulah disimpulkan bahwa: (ay.28) “Manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat.” Dengan demikian jalan keselamatan tidak hanya menjadi hak orang Yahudi yang bersunat saja tetapi hak semua orang (ay. 22,26,29,30).

Perikop ini dilanjutkan dengan uraian mengenai “Abraham dibenarkan karena iman” pada fasal 4. Rasul Paulus kemudian memberikan pengertian hukum Taurat dengan jelas, sebagai berikut:
“Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat.” (Rm. 7:6).

Dapat dimengerti mengapa mereka yang ingin kembali ke akar yudaik menganggap Surat-Surat Paulus sebagai kurang berotoritas bahkan ada yang menolaknya sama sekali, soalnya ajaran Paulus dengan jelas mengajarkan umat agar berakar dalam Tuhan Yesus Kristus dan bukan berakar pada ajaran turun-temurun yaitu akar adat istiadat Yahudi.

“Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur. Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kritus.” (Kol. 2:6-8)

Sumber : http://www.yabina.org/